Sunan Giri
1. Syeh Wali Lanang
Di Awal abad 14 M. Kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu Menak
Sembuyu. Salah sorang
keturunan Prabu Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit. Raja dan
rakyatnya memeluk agama
Hindu dan ada sebagaian yang memeluk agama Budha.
Pada suatu hari Prabu Menak Sembuyu gelisah, demikian pula
permaisurinya, pasalnya putri
mereka satu-satunya telah jatuh sakit selama beberapa bulan. Sudah
diusahakan mendatangkan
tabib dan dukun untuk mengobati tapi sang putri belum sembuh juga.
Memang pada waktu itu kerajaan Blambangan sedang dilanda pegebluk
atau wabah penyakit.
Banyak sudah korban berjatuhan. Menurut gambaran babad Tanah Jawa
esok sakit sorenya
mati. Seluruh penduduk sangat prihatin, berduka cita, dan hampir
semua kegiatan sehari-hari
menjadi macet total.
Sang Prabu hampir putus asa penyakit yang diderita putrinya. Dewi
Sekardadu hanya terbaring
di kamarnya, makin hari tubuhnya makin susut, tinggal kulit
pembalut tulang. Tanda putri itu
masih hidup hanyalah adanya nafas lemah yang masih keluar masuk
dari hidungnya. Sepasang
matanya tetap terpejam dan wajahnya pucat pasi, hampir seperti
mayat.
“Kanda Prabu ……” ujar permaisuri. “Apakah Kanda tega membiarkan
anak kita satu-satunya ini
terus dalam keadaan begini ?”
“Apa maksudmu Dinda ?” sahut Prabu Menak Sembuyu. “Bukankah aku
sudah berusaha
mendatangkan semua ahli pengobatan di negeri ini. Bahkan belum
lama berselang telah
mendatangkan tabib terkenal dari Pulau Dewata. Kurangkah usahaku
itu?”
“Bukan, bukan begitu maksudku Kanda ......”
“Lalu apa maumu ?”
“Buatlah sayembara,” kata permaisuri. “Siapa yang dapat
menyembuhkan putri kita akan kita
beri hadiah, kalau perlu kita ambil sebagai menantu.”
Prabu Menak Sembuyu terdiam beberapa saat. Pada akhirnya dia
setuju atas saran istrinya.
Segera dia perintahkan mahapatih kerajaan Blambangan yaitu Patih
Bayul Sengara untuk
mengumumkan bahwa siapa yang dapat menyembuhkan penyakit putrid
Dewi Sekardadu akan
dijodohkan dengan putrinya itu. Dan siapa dapat mengusir wabah
penyakit dari Blambangan
maka akan diberi separo dari wilayah kerajaan Blambangan.
Sayembara disebar di hampir pelosok negeri. Sehari, dua hari,
seminggu bahkan berbulan-bulan
kemudian tak ada seorangpun yang menyatakan kesanggupannya untuk
mengikuti sayembara
itu.
Permaisuri makin sedih hatinya. Prabu Menak Sembuyu berusaha
menghibur istrinya dengan
menugaskan Patih Bayul Sengara untuk mencari pertapa sakti guna
mengobati penyakit
putrinya.
Diiringi beberapa prajurit pilihan, Patih Bayul Sengara berangkat
melaksanakan tugasnya. Para
pertapa biasanya tinggal di puncak atau lereng-lereng gunung, maka
kesanalah Patih Bayul
Sengara mengajak pengikutnya mencari orang-orang sakti.
Berhari-hari mereka menempuh perjalanan, masuk hutan keluar hutan,
naik dan turun gunung.
Pada suatu ketika mereka bertemu dengan seorang Resi bernama
Kandabaya.
Untuk membuktikan bahwa Resi Kandabaya itu memang sakti, maka
sengaja sang patih
memerintahkan para prajuritnya menyerang dan mengeroyok Sang Resi
dengan senjata
terhunus.
Sepuluh orang maju serentak menyerangsang Resi yang sedang duduk
terpekur dalam semedi.
Resi itu seperti tak menghiraukan adanya bahaya yang mengancam
dirinya. Sepasang matanya
masih terpejam. Tapi begitu sepuluh orang itu mendekat kearahnya
dalam jarak dua langkah
tubuh mereka tiba-tiba terpental sejauh sepuluh tombak, tubuh
mereka terjerembab ke tanah,
senjata mereka terlepas dari tangan dan mereka meringis kesakitan
tanpa dapat bergerak
untuk bangub lagi.
Patih Bajul sengara kaget mengetahui hal itu. Tapi dia masih
penasaran. Diam-diam dia
mencabut kerisnya. Sang Resi masih duduk bersila, sepasang matanya
masih terpejam, Seperti
tak terusik oleh prilaku Patih Bajul Sengara dan anak buahnya.
“Ssssst !” tiba-tiba Patih Bajul Sengara melempar kerisnya. Tepat
kearah jantung sang Resi.
Bukan sekedar lemparan biasa, melainkan lemparan seorang Mahapatih
kerajaan Blambangan
yang tentu juga memiliki kesaktian tinggi. Dan memang, lemparan
keris itu disertai pengerahan
tenaga dalam tingkat tinggi.
Ujung keris itu meleset ke arah sang Resi, hampir saja menyentuh
dada Sang Resi. Namun tibatiba
keris itu membalik, melesat ke arah Patih Bajul Sengara. Patih
Bajul Sengara melengak,
secepat kilat dia merundukkan badan. Keris itu melesat di atas
tubuhnya. Menghantam
sebatang pohon sawo.
“Jresss !” keris itu terbenam ke batang pohon sawo yang cukup
besar, tinggal gagangnya saja
yang tampak. Patih Bajul Sengara hampik tak berkedip menyaksikan
gagang kerisnya itu.
Belum lagi hilang rasa terkejutnya Sang Patih, dilihatnya batang
pohon sawo itu mengeluarkan
asap dan kulit pohon itu menjadi hitam. Tak lama kemudian buah dan
pohon sawo itu rontok,
berguguran ke tanah.
Serta merta Patih Bajul Sengara menjatuhkan diri, berlutut didepan
sang Resi. Resi Kandabaya
masih dalam sikap semula. Duduk bersila dengan mata terpejam.
Seperti tak pernah terjadi
suatu apa.
“Ampun …… ampunilah kekurangajaran hamba,” ujar Patih Bajul
Sengara dengan terbata-bata.
Tak ada reaksi dari sang Resi.
Tiba-tiba ada seekor merpati putih hinggap di depan sang Resi.
Merpati itu meletakkan
selembar daun lontar yang dijepit di paruhnya. Dan sesaat kemudian
merpati itu mengeluarkan
bunyi. (mbekur istilah Jawanya). Aneh, sang Resi kemudian membuka
sepasang matanya
setelah mendengar suara si merpati. Sang Resi tersenyum dan segera
mengelus-elus sayap
merpati.
“Terima kasih Pethak ………” ujar sang Resi.” Sekarang kau boleh
bermain-main atau
beristirahat sesukamu.”
Merpati itu mengangguk-anggukkan kepala, seolah mengerti apa yang
diucapkan sang Resi.
Kemudian dia mengepakkan sayapnya, terbang ke sebuah pohon kenari
tak jauh dari Padepokan
Resi Kandabaya.
Sang Resi segera mengambil daun lontar yang diletakkan merpati
tadi. Dia seperti tak
menghiraukan adanya Patih Bajul Sangara yang membenturkan
kepalanya berkali-kali ke lantai
Padepokan.
“Ampun ......... ampunilah kekurangajaran dan kelancangan hamba
menganggu ketenangan
Bapa Resi ......... “ Demikian ucap Patih Bajul Sengara.
Resi Kandabaya masih tak menghiraukan sang patih. Dia sedang asyik
membaca gurat-gurat
berbentuk tulisan di daun lontar yang dipegangnya. Sesudah membaca
tulisan didaun lontar,
sang Resi bangkit berdiri. Berjalan kearah sepuluh prajurit yang
menggeletak kesakitan tanpa
dapat bergerak. Hanya dengan beberapa kali tepukan pada
bagian-bagian tertentu di tubuh
para prajurit itu maka kesepuluh anak buah Patih Bajul Sengara
dapat bergerak lagi dan rasa
sakit di sekujur tubuh mereka telah hilang. Serta merta sepuluh
orang itu menjatuhkan diri
berlutut didepan sang Resi.
Tapi Resi itu tidak menghiraukan mereka lagi. Dia berjalan kearah
Padepokan tempatnya
bersemedi tadi. Tapi kali ini dia tidak duduk bersemedi melainkan
tegak didepan Patih Bajul
Sengara.
Memang hebat dan sopan caramu bertamu kemari hai Patih Bajul
Sengara !” tegur sang Resi.
“Ampun bapa Resi ......... hamba harus yakin bahwa orang yang
hendak mintai pertolongan
memang benar-benar mumpuni.” ujar Patih Bajul Sengara.
“Ya, aku sudah tahu hal itu,” tukas sang resi. “Kau hendak
memintaku mengobati penyakit sang
putri Dewi Sekardadu dan mengusir wabah pagebluk dari Blambangan
atas perintah Prabu
Menak Sembuyu!”
“Mohon ampun Bapa Resi, memang demikianlah adanya kedatangan hamba
kemari.”
“Tapi kau salah alamat Patih ! Wabah penyakit itu sudah
dikehendaki Dewata Agung. Aku tak
mampu mengusirnya, juga tak mampu menyembuhkan Dewi Sekardadu.
“Tapi ……… hamba mohon petunjuk ……… “ kata Patih Bajul Sengara, dia
tidak akan menyianyiakan
kesempatan yang ada. Mumpung bisa bertemu dengan tokoh seperti
Resi Kandabaya dia
harus memperoleh hasil, setidak-tidaknya dia harus mendapatkan
keterangan bagaimana cara
mengobati atau mendapatkan orang yang mampu mengobati Dewi
Sekardadu.
Resi Kandabaya seperti mengerti apa yang tersirat di hati Patih
Bajul Sengara. Sesudah menarik
nafas panjang karena kesal melihat sikap sang Patih diapun
berkata, “Baiklah Patih, aku akan
memberimu petunjuk. Pada saat itu hanya ada satu orang yang mampu
menyembuhkan
penyakit Dewi Sekardadu sekaligus mengusir wabah penyakit dari
seluruh wilayah Blambangan.
Tapi ……”,
Resi Kandabaya tidak meneruskan ucapannya. Ditatapnya tajam-tajam
wajah Patih Bajul
Sengara. Sang Patih makin menundukkan mukanya, tak ada keberanian
baginya untuk bertatap
muka dengan Resi yang terbukti sangat sakti itu. “Apapun yang
terjadi, hamba ……… juga Gusti
Prabu Menak Sembayu takkan peduli asal Dewi Sekardadu sembuh dari
sakitnya.” ujar Patih
Bajul Sengara untuk menghapus keraguan Resi Kandabaya.
“Benarkah? Tapi aku tidak yakin,” sahut sang Resi.” Akan terjadi
sesuatu di luar perhitunganmu
dan hal itu akan membakar hatimu. Tapi baiklah, kalau kau ingin
mengetahui orang yang
hendak menyembuhkan Dewi Sekardadu. Ikutilah merpati putih itu
terbang.
Tapi kuperingatkan, jangan kau mencoba bersikap kurang ajar kepada
orang yang hendak
menyembuhkan Dewi Sekardadu itu. Dan apapun syaratnya yang
diajukannya hendaknyan kau
dan Prabu Menak Sembuyu meluluskannya.”
“Segala pesan Bapa Resi akan hamba perhatikan baik-baik.”
Sekarang sudah hampir malam, beristirahatlah di Padepokan ini.
Besok pagi kalian boleh
berangkat menuju gunung Selangu. Merpati putih akan mengantarmu
hingga ke tempat
tujuan.”
Demikianlah, Patih Bajul Sengara dan anak buahnya malam itu
bermalam di Padepokan Resi
Kandabaya. Esok harinya mereka sudah bersiap-siap berangkat
kegunung Selangu.
“Sampaikan salam perdamaian kepada pertapa di gunung Selangu itu.”
Pesan Resi Kandabaya
sebelum Patih Bajul Sengara meninggalkan Padepokan.
“Pesan Bapa Resi akan hamba sampaikan,” jawab Patih Bajul Sengara
penuh hormat.
Perjalanan ke gunung Selangu memakan waktu yang cukup lama. Walau
mereka naik kuda
pilihan tapi pada tengah hari barulah mereka sampai di gunung
Selangu. Mereka terus
mengikuti arah merpati putih terbang menuju suatu tempat. Ketika
jalanan semakin naik,
maka mereka menambatkan kudanya dan meneruskan perjalanan dengan
berjalan kaki.
Akhirnya merpati penunjuk jalan itu berhenti didepan sebuah goa.
Saat itu hari mulai gelap.
Tapi ada suatu keanehan, dari dalam goa itu memancar sinar terang,
sebuah cahaya yang
mampu menerangi tempat sekitarnya .
Patih Bajul Sengara memerintahkan para prajurit pengiring untuk
menunggu di luar goa. Dia
sendiri segera berjalan memasuki goa itu. Makin ke dalam makin
terang cahaya yang memancar
itu.
Akhirnya sepasang mata Patih Bajul Sengara terbelalak heran,
ternyata cahaya itu bukan
berasal dari sebuah lampu atau benda melainkan berasal dari tubuh
seorang berjubah putih
yang sedang bersujud di tanah. Seluruh tubuh dan pakaian orang itu
mengeluarkan cahaya
terang benderang. Ingat pesan Resi Kandabaya maka Patih Bajul
Sengara tidak berbuat macammacam
yang justru akan membahayakan dirinya sendiri. Dengan bersabar dia
menunggu orang
itu bersujud kemudian duduk bertafakkur. Setelah selesai barulah
Patih Bajul Sengara
menyapanya.
“Saya Patih Bajul Sengara, datang kemari dengan membawa pesan alam
perdamaian dari Resi
Kandabaya,” ujar sang Patih.
Aku terima salam Resi Kandabaya,” ujar pertapa itu. “Sudah lama
aku bersahabat dengan Resi
Kandabaya walaupun hanya melalui selembar daun lontar yang diantar
oleh merpati sang Resi.”
Patih Bajul Sengara lalu mengutarakan maksud kedatangannya menemui
sang pertapa. Pertapa
itu mengangguk –anggukkan kepala mendengar penjelasan sang Patih.
“Sebelum aku
menyatakan kesanggupanku terlebih dahulu kuperkenalkan diriku ini,
“kata pertapa itu.
“Namaku Maulana Ishak, berasal dari negeri Pasai. Aku bersedia
mengobati Dewi Sekardadu dan
sekaligus mengusir wabah penyakit dari Blambangan dengan syarat
bahwa Prabu Menak
Sembuyu dan keluarganya masuk agama Islam. Dan rakyat Blambangan
bersedia mendengar
nasehatku.”
Barangkali inilah hal-hal yang termasuk di luar perhitunganku,
demikian bisik hati sang Patih.
Soal pindah agama dia tidak berani memberi keputusan. Untuk itu
dia harus menghadap sang
Prabu lebih dahulu. Maka diapun berpamit kepada Syekh Maulana
Ishak untuk pulang ke istana
Blambangan, menyampaikan persyaratan yang diajukan pertapa itu.
“Ya, ada baiknya anda berunding dengan Prabu Menak Sembuyu lebih
dahulu,” kata Syekh
Maulana Ishak.
Terpaksa Patih Bajul Sengara kembali ke Blambangan dan
menyampaikan persyaratan yang
diajukan Syekh Maulana Ishak kepada Prabu Menak Sembuyu.
Tentu saja sangat berat bagi sang Prabu untuk melepaskan agama
lama yang terlanjur diyakini
selama bertahun-tahun, namun demi rasa kasih sayangnya pada Dewi
Sekardadu, maka dia
terpaksa memenuhi syarat yang diajukan Syekh Maulana Ishak. Patih
Bajul Sengara
diperintahkan menjemput Syekh Maulana Ishak. Sesampainya di goa
gunung Selangu, Patih
Bajul Sengara dipersilahkan berangkat ke Blambangan lebih dahulu.
Syekh Maulana Ishak akan
menyusul kemudian.
Tetapi betapa terkejut Patih Bajul Sengara ketika sampai di istana
Blambangan. Ternyata Syekh
Maulana Ishak sudah datang lebih dahulu. Bahkan sang Prabu Menak
Sembuyu menegur
keterlambatan sang Patih.
Sadarlah sang Patih, bahwa Syekh Maulana Ishak itu benar-benar
pertapa sakti yang mumpuni.
Dia yang menempuh perjalanan naik kuda masih dikalahkan dengan
Syekh Maulana Ishak yang
datang ke istana Blambangan hanya berjalan kaki.
Tiga malam Syekh Maulana Ishak melakukan tirakat untuk mengobati
Dewi Sekardadu. Di
malam keempat, sesudah melaksanakan shalat sunnah hajat ditiupkan
wajah sang putri tiga
kali. Seketika sang putri membuka matanya dan bangkit dari
tidurnya. Seluruh isi istana
gembira menyaksikan hal itu terlebih permaisuri dan Prabu Menak
Sembuyu.
Prabu Menak Sembuyu menepati janjinya. Syekh Maulana Ishak diambil
menantu. Dijodohkan
dengan Dewi Sekardadu. Sambil menunggu keadaan tubuh Dewi
Sekardadu supaya benar-benar
pulih seperti sedia kala, Syekh Maulana Ishak berkeliling ke
seluruh negeri Blambangan untuk
memberikan nasehat dan memudarkan pengaruh pagebluk yang melanda
rakyat Blambangan.
Dari penyelidikan yang dilakukan oleh Syekh Maulana Ishak akhirnya
diketahui bahwa rakyat
Blambangan sangat ceroboh dalam menjaga kebersihan dan kesehatan
mereka. Makanan seharihari
mereka banyak yang mengandung racun dan penyakit, cara mereka
buang hajat
disembarang tempat dan mereka jarang mandi atau membersihkan tubuh
mereka.
Setelah Maulana Ishak memberikan penyuluhan merawat kesehatan dan
membersihkan diri
serta lingkungan tempat tinggal. Dan nasehat itu dilaksanakan maka
banyaklah rakyat
Blambangan yang sembuh dari sakitnya.
Hanya beberapa orang yang penyakitnya tergolong berat terpaksa
mendapat perawatan khusus
dari Syekh Maulana Ishak. Dan semuanya berhasil disembuhkan
seperti sedia kala.
Tibalah pada hari yang ditentukan, pernikahan Dewi Sekardadu dan
Syekh Maulana Ishak
dilaksanakan. Upacara diselenggarakan dengan penuh meriah. Karena
Syekh Maulana Ishak
bukan hanya berhasil menyembuhkan penyakit Dewi Sekardadu
melainkan juga mengusir wabah
penyakit dari Blambangan maka dia juga diangkat sebagai raja muda
atau Adipati. Mendapat
kekuasaan separo dari wilayah kerajaan Blambangan, sesuai dengan
janji yang diucapkan oleh
Prabu Menak Sembuyu sendiri.
Menurut Babad Tanah Jawi, dalam upacara pernikahan yang diselenggarakan
itu sudah terjadi
ketegangan antara Syekh Maulana Ishak dengan pihak keluarga
kerajaan. Yaitu disaat jamuan
makan dikeluarkan. Ternyata makanan yang dihidangkan kepada Syekh
Mulana Ishak
kebanyakan adalah terdiri dari daging binatang haram, seperti babi
hutan, harimau, ular, kera
dan lain-lain.
Posisi Syekh Mulana Ishak pada saat itu sungguh sulit sekali.
Kalau dia tidak mau menyantap
hidangan itu nantinya disangka bersikap sombong dan menghina Prabu
Menak Sembuyu. Jika
disantap dagingnya terdiri dari hewan yang diharamkan agama Islam,
maka diapun berdoá
kepada Allah, memohon jalan keluar yang terbaik.
Sesuai berdoá terjadilah sesuatu diluar dugaan. Daging-daging
binatang haram yang sudah
dimasak itu tiba-tiba berubah menjadi binatang hidup berloncatan
kesana–kemari. Yang asalnya
dari ular menjadi ular, yang berasal dari harimau menjadi harimau,
yang asalnya babi hutan
menjadi babi hutan. Tentu saja suasana menjadi panik. Pesta meriah
geger, Syekh Maulana
Ishak mengajak isterinya pulang di Kadipaten baru yang harus
diperintahnya.
Syekh Maulana Ishak hidup berbahagia bersama istrinya. Tapi hal
itu tidak berlangsung lama,
karena sejak terjadinya keributan pada jamuan makan itu Patih
Bajul Sengara meniupkan isyu
jahat kepada Prabu Menak Sembuyu.
Menurut Patih Bajul Sengara, Syekh Maulana Ishak sengaja
mempermalukan sang Prabu dengan
menghidupkan binatang yang sudah dimasak dan siap dimakan para
peserta pesta. Bukan hanya
itu saja, keberhasilan Syekh Maulana Ishak berdakwa mengajak
rakyat Blambangan masuk Islam
dianggap membahayakan kedudukan Prabu Menak Sembuyu selaku
penguasa tunggal kerajaan
Blambangan. Karena semakin hari semakin banyak pengikut Syekh
Maulana Ishak yang masuk
Islam. Bahkan tidak sedikit rakyat di wilayah kekuasaan istana
Blambangan pindah menjadi
penduduk Kadipaten yang dipimpin oleh Syekh Maulana Ishak.
Lama-lama Syekh Maulana Ishak merebut kerajaan Blambangan ini dari
tangan Gusti Prabu,
demikian hasut Patih Bayul Sengara. “Ya, tidak mustahil dia akan
berontak dan memaksa kita
benar-benar menjadi pengikutnya. Memang sejauh ini dia tidak tahu
bahwa kita pura-pura saja
masuk Islam. Tapi pada akhirnya dia pasti mengetahuinya.
Prabu Menak Sembuyu memang hanya pura-pura masuk agama Islam demi
kesembuhan
putrinya. Kini setelah termakan oleh hasutan Patih Bajul Sengara
dia mulai menaruh kebencian
kepada menantunya itu.
Tujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishak menjadi adipati baru di
Blambangan.
Makin hari semakin bertambah banyak saja pengikutnya. Hati Prabu
Menak Sembuyu makin
panas mengetahui hal ini. Sementara Patih Bajul Sengara tak
henti-hentinya mempengaruhi
sang Prabu dengan hasutan-hasutan jahatnya.
Patih Bajul Sengara sendiri tanpa sepengetahuan sang Prabu sudah
mengadakan terror pada
pengikut Syekh Maulana Ishak. Tidak sedikit penduduk Kadipaten
yang dipimpin Syekh Maulana
Ishak di culik disiksa dan dipaksa kembali kepada agama lama.
Walau kegiatan itu dilakukan
secara rahasia dan sembunyi-sembunyi pada akhirnya Syekh Maulana
Ishak mengetahui juga.
Pada saat itu Dewi Sekardadu sedang hamil tujuh bulan. Syekh
Maulana Ishak sadar, bila hal itu
diteruskan akan terjadi pertumpahan darah yang seharusnya tidak
perlu. Kasihan rakyat jelata
yang harus menanggung akibatnya. Maka dia segera berpamit kepada
istrinya untuk
meninggalkan Blambangan.
“Sungguh tidak pantas seorang anak menantu berperang melawan
mertuanya. Lebih tidak tega
lagi hatiku bila melihat rakyat yang tak berdosa, sama-sama
sewilayah Blambangan harus
berperang habis-habisan. Yang diinginkan Rama Prabu adalah diriku,
maka relakanlah daku
pergi kembali ke Pasai. Bila anak kita lahir laki-laki berilah
nama Raden Paku, jika lahir
perempuan terserah adinda menamakannya.
Demikianlah, pada tengah malam, dengan hati berat karena harus
meninggalkan istri tercinta
yang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak berangkat meninggalkan
Blambangan seorang diri.
Esok harinya sepasukan besar prajurit Blambangan yang dipimpin
Patih Bajul Sengara
menerobos masuk wilayah Kadipaten yang sudah ditinggalkan Syekh
Maulana Ishak. Tentu saja
Patih kecele, walaupun seluruh isi istana di obrak-abrik dia tidak
menemukan Syekh Maulana
Ishak yang sangat dibencinya.
Sang Patih hanya dapat memboyong Dewi Sekardadu untuk pulang ke
istana Blambangan.
Seluruh pengikut Syekh Maulana Ishak sudah diperintah Dewi
Sekardadu untuk menyerah agar
tidak terjadi pertumpahan darah. Patih Bajul Sengara untuk
sementara merasa bangga atas
kemenangannya itu. Tapi sesungguhnya dendam kesumat masih membara
di dadanya.
Dua bulan kemudian dari rahim Dewi Sekardadu lahir bayi laki-laki
yang elok rupanya.
Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu dan permaisurinya merasa senang
dan bahagia melihat
kehadiran cucunya yang montok dan rupawan itu.
Bayi itu lain daripada yang lain, wajahnya mengeluarkan cahaya
terang. Terlebih Dewi
Sekardadu, dengan kelahiran bayinya itu hatinya yang sedih
ditinggal suami sedikit terobati.
Seisi istana bergembira.
Lain halnya dengan Patih Bajul Sengara. Dibiarkannya bayi itu
mendapat limpahan kasih saying
keluarga istana selama empat puluh hari. Sesudah itu dia menghasut
Prabu Menak Sembuyu.
Kebetulan pada saat itu wabah penyakit berjangkit lagi di
Blambangan. Maka Patih Bajul
Sengara mengkambing hitamkan Syekh Maulana Ishak sebagai
penyebabnya.
“Semua bencana yang menimpa rakyat Blambangan ini disebabkan ulah
Syekh Maulana Ishak.
Dewa murka karena penduduk Blambangan banyak masuk agama Islam dan
meninggalkan
kepercayaan lama. Jika penduduk Blambangan ingin terhindar dari
bencana kita harus kembali
kepada agama lama, dan melenyapkan semua bekas peninggalan Syekh
Maulana Ishak,”
demikian kata sang Patih.
“Apa maksudmu dengan melenyapkan bekas peninggalan Syekh Maulana
Ishak itu?”
tanya sang Prabu.
“Salah satu diantaranya ialah bayi keturunannya, Gusti Prabu !”
Maksudmu aku harus membunuh cucuku sendiri ?”
“Benar gusti Prabu ! Cepat atau lambat bayi itu akan menjadi
bencana di kemudian hari.
Wabah penyakit inipun menurut dukun-dukun terkenal di Blambangan
ini disebabkan adanya
hawa panas yang memancar dari jiwa bayi itu !” kilah Patih Bajul
Sengara dengan alasan yang
dibuat-buat.
Sang Prabu tidak cepat mengambil keputusan, dikarenakan dalam
hatinya dia terlanjur
menyukai kehadiran cucunya itu, namun sang Patih tiada
bosan-bosannya menteror denga
hasutan dan tuduhan keji akhirnya sang Prabu terpengaruh juga.
Walau demikian tiada juga dia
memerintahkan pembunuhan atas cucunya itu secara langsung. Bayi
yang masih berusia empat
puluh hari dimasukkan kedalam peti dan diperintahkan untuk dibuang
kelaut.
“Biarlah Dewata sendiri yang menentukan nasibnya di Samodra.” Ujar
sang Prabu kepada Dewi
Sekardadu.
Tentu saja Dewi Sekardadu menangis dengan suara menghayat hati.
Ibu mana yang rela bayinya
dibuang begitu saja tanpa alasan yang masuk di akal. Apalagi
tempat pembuangan itu adalah
lautan besar di selat Bali.
Dengan hati hancur ia ikut mengantarkan upacara Pelarungan atau
pembuangan bayi yang tak
berdosa itu. Dengan tatapan kosong ia memandang ke arah peti yang
dibuang ke tengah lautan,
peti itu makin lama makin ke tengah pada akhirnya hilang dari
pandangan mata. Meski
demikian wanita muda itu tidak beranjak dari tempatnya. Suasana di
tepi pantai itu sudah
sunyi senyap, hanya debur ombak yang terdengar membentur batu
karang. Matahari mulai
condong ke langit barat. Para prajurit yang diperintahkan menunggu
Dewi Sekardadu segera
pulang ke istana, melaporkan prilaku sang putri yang masih duduk
tepekur di tepi pantai.
Di saat para prajurit meninggalkannya itulah Dewi sekardadu
beranjak dari tempatnya duduk.
Dengan gontai dia melangkahkan kakinya. Bukan ke istana
Blambangan. Melainkan mengembara
tanpa tujuan yang pasti. Dan tak seorangpun dapat menemukannya
lagi.
Belakangan baru diketahui bahwa sikap benci sang Patih kepada
Syekh Maulana Ishak adalah
dikarenakan ambisinya untuk dapat memperistri Dewi Sekardadu
sendiri. Tapi ambisi itu
memudar manakala kenyataan berbicara lain, Dewi Sekardadu yang
telah lama diimpikannya
sebagai batu loncatan untuk dapat mewarisi tahta Blambangan
ternyata lebih dahulu di sunting
oleh Syekh Maulana Ishak.
Meski demikian ambisi itu tak pernah padam. Setelah berhasil
menyingkirkan Syekh Maulana
Ishak dari bumi Blambangan, dia berharap akan dapat berjodoh
dengan Dewi Sekardadu yang
telah menjadi janda, demikian pikir sang Patih. Untuk itu dia
harus menyingkirkan putra Syekh
Maulana Ishak, supaya Dewi Sekardadu benar-benar dapat melupakan
suaminya yang dahulu
dan di belakang hari bayi itu tidak menjadi perintang
cita-citanya.
Kini, setelah mendengar laporan para prajurit bahwa Dewi Sekardadu
yang duduk terpekur di
tepi pantai hingga sore hari ternyata sudah tidak ada di tempat.
Patih itu kelabakan, dia
perintahkan ratusan prajurit untuk mencari sang putrid, namun itu
sia-sia belaka. Sang Putri
seolah-olah lenyap di telan bumi.
Konon, Syekh Maulana Ishak sebelum meneruskan perjalanan ke negeri
Pasai sempat mampir ke
Ampeldenta di Surabaya. Kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel dia
berpesan, apabila
bertemu dengan anak yang pernah dibuang ke laut oleh Prabu Menak
Sembuyu itu supaya
dinamakan Raden Paku dan hendaklah Raden Rahmat suka mendidiknya
secara Islami.
Sudah barang tentu Sunan Ampel tidak berkeberatan menerima amanat
itu. Jika kita amati di
dalam Babat Tanah Jawa, sesudah pertemuan dengan Sunan Ampel,
Syekh Maulana Ishak masih
terus mengembara di sekitar Pulau Jawa terutama di bagian Tengah.
Dan kemudian beliau
mendapat sebutan Syekh Wali Lanang.
Kemudian berangkatlah Syekh Maulana Ishak ke negeri Pasai.
Mendirikan perguruan Islam di
sana dan terkenal sebutan Syekh Awwalul Islam.
Tetapi, berdasarkan bukti adanya makam Syekh Maulana Ishak di
Gresik dekat makam Maulana
Malik Ibrahim, maka di duga pada usia lanjut atau pada jaman
kejayaan Sunan Giri. Syekh
Maulana Ishak itu kembali ke Jawa, mendampingi Sunan Giri yang
memerintah di Giri Kedaton
dan kemudian wafat di Gresik lalu dimakamkan tak jauh dari komplek
pemakaman Syekh
Maulana Malik Ibrahim.
2. Joko Samodra
Pada suatu malam ada sebuah perahu dagang dari Gresik melintasi
Selat Bali. Ketika perahu itu
berada ditengah-tengah Selat Bali tiba-tiba terjadi keanehan,
perahu itu tidak dapat bergerak,
maju tak bisa mundurpun tak bisa.
Nakhoda memerintahkan awak kapal untuk memeriksa sebab-sebab
kemacetan itu, mungkinkah
perahunya membentur batu karang. Setelah diperiksa ternyata perahu
itu hanya menabrak
sebuah peti berukir indah, seperti peti milik kaum bangsawan yang
digunakan menyimpan
barang berharga.
Nakhoda memerintahkan mengambil peti itu. Diatas perahu peti itu
dibuka, semua orang
terkejut karena didalamnya terdapat seorang bayi mungil yang
bertubuh montok dan rupawan.
Nakhoda merasa gembira dapat menyelamatkan jiwa si bayi mungil
itu, tapi juga mengutuk
orang yang tega membuang bayi itu ke tengah lautan, sungguh orang
yang tidak
berperikemanusiaan.
Nakhoda kemudian memerintahkan awak kapal untuk melanjutkan
pelayaran ke Pulau Bali.
Tapi perahu tak dapat bergerak maju. Ketika perahu diputar dan
diarahkan ke Gresik ternyata
perahu itu melaju dengan pesatnya.
“Ini benar-benar kejadian gaib, kejadian diluar perhitungan
manusia biasa. Pertama hanya
karena peti perahu ini tak dapat bergerak, kemudian setelah peti
ini kita buka perahu tak
dapat bergerak maju. Ketika perahu diputar dan diarahkan ke Gresik
ternyata perahu itu
melaju dengan pesatnya.
“Ini benar-benar kejadian gaib, kejadian diluar perhitungan
manusia biasa. Pertama hanya
karena petiperahu ini tak dapat bergerak, kemudian setelah peti
ini kita buka perahu tak dapat
melanjutkan perjalanan ke Pulau Bali. Baiklah kita kembali saja ke
Gresik, kita laporkan
kejadian aneh ini kepada majikan kita,” demikian kata Nakhoda
kepada anak buahnya.
Perahu itupun melaju cepat ke arah Gresik. Tanpa ada halangan dan
rintangan. Padahal
berdasarkan perhitungan, berlayar ke arah barat saat itu sama
dengan menentang gelombang
dan badai.
Mereka tiba di pelabuhan Gresik dengan selamat. Tetapi Nyai Ageng
Pinatih merasa cemas
melihat kapal perahu dagang miliknya kembali lebih cepat dari
biasanya. “Apa yang terjadi?
Mengapa kalian pulang secepatnya ini ?”
Lebih-lebih setelah diperiksa barang dagangan masih utuh seperti
semula. Nyai Ageng Pinatih
mulai naik pitam.
Nakhoda perahu tak banyak bicara, dia perintahkan anak buahnya
membawa peti berisi bayi ke
hadapan Nyai Ageng Pinatih.
“Peti inilah yang menyebabkan kami kembali dalam waktu secepat
ini. Kami tak dapat
meneruskan pelayaran ke Pulau Bali,” kata sang Nakhoda.
“Hanya karena peti? Apa isinya? Harta karun?” hardik Nyai Ageng
Pinatih.
“Inilah isinya, kata Nakhoda sembari membuka tutup peti itu.
Sepasang mata Nyai Ageng
Pinatih terbelalak heran melihat bayi montok, sehat dan rupawan
menggerakgerakkan
tangannya sembari menatap ke arahnya.
“Bayi ………. ? Bayi siapa ini ?” guman Nyai Ageng Pinatih sembari
mengangkat bayi itu dari
dalam peti.
Begitu diangkat bayi itu tampak tersenyum. Hati Nyai Ageng Pinatih
berbinar-binar, seketika itu
juga dia merasa sangat suka pada si bayi. Lebih-lebih dia itu
adalah seorang janda yang tidak
dikaruniai seorang putrapun.
“Kami menemukannya di tengah samodra Selat Bali, jawab nakhoda
kapal.
“Tengah samodra ?” ulang Nyai Ageng Pinatih.
“Benar Nyai Ageng.”
“Lalu apa rencana kalian atas bayi ini ?”
“Banyak di antara kami yang menyukai bayi itu dan mengambilnya
sebagai anak. Tapi kami
tahu betapa lama Nyai Ageng mendambahkan seorang putra, maka lebih
tepat kiranya bila Nyai
Ageng yang merawat dan membesarkan bayi itu.”
“Jelasnya kalian berikan bayi ini kepadaku ?” Nyai Ageng
menegaskan.
“Benar Nyai Ageng.”
Nyai Ageng Pinatih merasa sangat berterima kasih kepada nakhoda
dan anak buahnya. Memang
sudah lama dia mengingingkan seorang anak. Sebagai ungkapan rasa
senangnya.... Kepada
nakhoda dan anak buahnya.
Selanjutnya bayi itu diambil anak angkat oleh Nyai Ageng Pinatih,
seorang janda kaya raya yang
disegani masyarakat Gresik. Karena bayi itu ditemukan di tengah
samodra maka Nyai Ageng
Pinati kemudian memberinya nama Joko Samodra.
Nyai Ageng Pinatih adalah seorang muslimah yang baik, walau Joko
Samodra bukan anak
kandungnya dia merawat dan membesarkannya dengan penuh kasih
sayang. Terlebih Joko
Samodra itu ternyata mempunyai sifat yang baik, kepada ibunya dia
sangat berbakti selalu
bersikap menyenangkan hati. Kepada orang yang lebih tua dia selalu
menghormati dan
menjunjung tinggi. Kepada teman-teman sebayanya dia tak pernah
menyakiti atau berbuat
usil. Pendek kata Joko Samodra benar-benar merupakan profil anak
yang menjadi buah hati
orang tua dan pantas dibanggakan setiap orang tua. Ketika berumur
11 tahun, Nyai Ageng
Pinatih mengantarkan Joko Samodra untuk berguru kepada Raden
Rahmat atau Sunan Ampel di
Surabaya.
Menurut beberapa sumber mula pertama Joko Samodra setiap hari
pergi ke Surabaya dan
sorenya kembali ke Gresik. Sunan Ampel kemudian menyarankan agar
anak itu mondok saja di
pesantren Ampeldenta supaya lebih konsentrasi dalam mempelajari
agama Islam.
Dalam beberapa minggu saja Sunan Ampel telah dapat mengetahui
bahwa Joko Samodra
bukanlah anak sembarangan. Muridnya yang satu ini memiliki
kecerdasan luar biasa. Semua
pelajaran yang diberikan mampu dicerna dan dihafal dalam tempo
yang tidak terlalu lama.
Pada suatu malam, seperti biasa Raden Rahmat hendak mengambil air
wudhu guna
melaksanakan shalat tahajjud, mendoákan murid-muridnya dan
mendoákan ummat agar
selamat di dunia dan akhirat. Sebelum berwudlu Raden Rahmat
menyempatkan diri melihatlihat
para santri yang tidur di asrama.
Tiba-tiba Raden Rahmat terkejut. Ada sinar terang memancar dari
salah seorang santrinya.
Selama beberapa saat beliau tertegun, sinar terang itu menyilaukan
mata, untuk mengetahui
siapakah murid yang wajahnya bersinar itu maka Sunan Ampel memberi
ikatan pada pada
sarung murid itu.
Esok harinya, sesudah shalat subuh, Sunan Ampel memanggil
murid-muridnya itu.
“Siapakah di antara kalian yang waktu bangun tidur kain sarungnya
ada ikatan ?” Tanya Sunan
Ampel.
“Saya Kanjeng Sunan ………. “acung Joko Samodra.
Melihat yang mengacungkan tangan Joko Samodra, Sunan Ampel makin
yakin bahwa anak itu
pastilah bukan anak sembarangan. Kebetulan pada saat itu Nyai
Ageng Pinatih datang untuk
menengok Joko Samodra, kesempatan ini digunakan Sunan Ampel untuk
bertanya lebih jauh
tentang asal usul Joko Samodra. Nyai Ageng Pinatih menjawab
sejujur-jujurnya. Bahwa Joko Samodra di temukan di tengah Selat
Bali ketika masih bayi. Peti
yang digunakan untuk membuang bayi itu hingga sekarang masih
tersimpan rapi di rumah Nyai
Ageng Pinatih.
Sunan Ampel kemudian menyempatkan diri datang ke Gresik untuk
melihat peti yang masih
tersimpan rapi itu. Berdasarkan pengamatan Sunan Ampel peti itu
memang berasal dari
kalangan istana Blambangan, hal itu diketahui dari ciri-ciri
ukiran dan tanda khusus pada peti
itu. Yakinlah Sunan Ampel bahwa Joko Samodra adalah putra Syekh
Maulana Ishak yang dibuang ke tengah samodra.
Teringat pada pesan Syekh Maulana Ishak sebelum berangkat ke
negeri Pasai maka Sunan Ampel
kemudian mengusulkan pada Nyai Ageng Pinatih agar nama anak itu
diganti dengan nama Raden
Paku. Nyai Ageng Pinatih menurut saja apa kata Sunan Ampel, dia
percaya penuh kepada Wali
besar yang sangat dihormati masyarakat bahkan juga masih terhitung
seorang Pangeran
Majapahit itu.
3. Raden Paku
Sewaktu mondok di pesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat akrab
bersahabat dengan putra
Raden Rahmat yang bernama Raden Makdum Ibrahim. Keduanya bagai
saudara kandung saja,
saling menyayangi dan saling mengingatkan.
Setelah berusia 16 tahun, kedua pemuda itu dianjurkan untuk
menimba pengetahuan yang lebih
tinggi di negeri Seberang sambil meluaskan pengalaman. “Di Negeri
Pasai banyak orang pandai
dari berbagai negeri. Disana juga ada ulama besar yang bergelar
Syekh Awwallul Islam. Dialah
ayah kandungmu yang nama aslinya adalah Syekh Maulana Ishak.
Pergilah kesana tuntutlah
ilmunya yang tinggi dan teladanilah kesabarannya dalam mengasuh
para santri dan berjuang
menyebarkan agama Islam. Hal itu akan berguna kelak bagi
kehidupanmu yang akan datang.”
Pesan itu dilaksanakan oleh Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim.
Dan begitu sampai di
negeri Pasai keduanya disambut gembira, penuh rasa haru dan
bahagia oleh Syekh Maulana
Ishak ayah kandung Raden Paku yang tak pernah melihat anaknya
sejak bayi.
Raden Paku menceritakan riwayat hidupnya sejak masih kecil
ditemukan di tengah samodra dan
kemudian diambil anak angkat oleh Nyai Ageng Pinatih dan berguru
kepada Sunan Ampel di
Surabaya. Sebaliknya Syekh Maulana Ishak kemudian menceritakan
pengalamannya di saat
berdakwah di Blambangan sehingga terpaksa harus meninggalkan istri
yang sangat dicintainya.
Raden Paku menangis sesenggukan mendengar kisah itu. Bukan
menangisi kemalangan dirinya
yang telah disia-siakan kakeknya yaitu Prabu Menak Sembuyu tetapi
memikirkan nasib ibunya
yang tak diketahui lagi tempatnya berada. Apakah ibunya masih
hidup atau sudah meninggal
dunia. Dalam hatinya telah bertekad untuk pada suatu ketika akan
datang ke Blambangan
menuntut balas atas kekejaman kakeknya itu. Namun Syekh Maulana
Ishak segera meredahkan
gelora hati Raden Paku yang masih berusia muda itu. “janganlah kau
diperbudak iblis sehingga
berniat membalas dendam pada kakekmu, Ujar Syekh Maulana Ishak.”
Memang boleh kita
membalas perbuatan jahat seorang dengan balasan yang setimpal
dengan perbuatannya. Tapi
memberi maaf itu lebih baik. Jika engkau pemuda Islam yang baik
yang tidak sama dengan
pemuda lain dengan menunjukkan kepribadian kita yang baik, sudah
otomatis kita berdakwah
dengan perbuatan nyata.”
Karena nasehat ayahnya yang bijaksana itu Raden Paku mengurungkan
niatnya untuk membalas
dendam pada Prabu Menak Sembuyu. Toh raja Blambangan itu masih
terhitung kakeknya
sendiri.
Di negeri Pasai ulama besar dari negeri asing yang menetap dan
membuka pelajaran agana
Islam kepada penduduk setempat. Hal ini tidak disia-siakan oleh
Raden Paku dan Maulana
Makdum Ibrahim. Kedua pemuda itu belajar agama dengan tekun, baik
kepada Syekh Maulana
Ishak sendiri maupun kepada guru-guru agama lainnya.
Ada yang beranggapan bahwa Raden Paku dikaruniai ilmu laduni yaitu
ilmu yang langsung
berasal dari Tuhan, sehingga kecerdasan otaknya seolah tiada
bandingnya. Disamping belajar
ilmu Ta uhid mereka juga mempelajari ilmu Tasawuf dari ulama Iran,
Bagdad dan Gujarat yang
banyak menetap di negeri Pasai.
Ilmu yang dipelajari itu berpengaruh dan menjiwai kehidupan Raden
Paku dalam prilakunya
sehari-hari sehingga kentara benar bila ia mempunyai ilmu tingkat
tinggi, ilmu yang sebenarnya
hanya pantas dimiliki ulama yang berusia lanjut dan berpengalaman.
Guru-gurunya kemudian
memberinya gelar Syekh Maulana A’inul Yaqin.
Setelah tiga tahun berada di Pasai, dan masa belajar itu sudah
dianggap cukup oleh Syekh
Maulana Ishak, kedua pemuda itu diperintahkan kembali ke Tanah
Jawa. Oleh ayahnya, Raden
Paku diberi sebuah bungkusan putih berisi tanah.
“Kelak, bila tiba masanya dirikanlah Pesantren di Gresik, carilah
tanah yang sama betul dengan
tanah dalam bungkusan ini, disitulah kau membangun Pesantren,”
Demikian pesan ayahnya.
Kedua pemuda itu kembali ke Surabaya. Melaporkan segala
pengalamannya kepada Sunan
Ampel. Sunan Ampel memerintah Makdum Ibrahim berdakwah di daerah
Tuban. Sedang Raden
Paku diperintah pulang ke Gresik kembali ibu angkatnya yaitu Nyai
Ageng Pinatih. “Tiba
masanya bagimu untuk berbakti kepada Nyai Ageng Pinatih.” Kata
Sunan Ampel. “Walau dia
bukan ibu kandungmu tapi dialah yang membesarkan dan merawatmu
sejak kecil. Bantulah
dagangan ibumu sambil berdakwah. Orang-orang pendahulu kita juga
melakukan da’wah sambil
berdagang.”
Demikianlah, Raden Makdum Ibrahim berdakwah di Tuban dengan
menggunakan gamelan untuk
menarik masa maka akhirnya dia dikenal sebagai Sunan Bonang.
Sesuai dengan nama gamelan
yang sering di gunakan melantunkan lagu-lagu atau tembang
keagamaan.
Sedang Raden Paku kembali ke Gresik untuk membantu ibu angkatnya
dalam mengurus
perdagangan antar pulau.
4. Membersihkan Diri
Pada usia 23 tahun, Raden Paku diperintah oleh ibunya untuk
mengawal barang dagangan ke
pulau Banjar atau Kalimantan. Tugas ini diterimanya dengan senang
hati. Nakhoda kapal
diserahkan kepada pelaut kawakan yaitu Abu Hurairah. Walau pucuk
pimpinan berada di tangan
Abu Hurairah tapi Nyai Ageng Pinatih memberi kuasa pula kepada
Raden Paku untuk ikut
memasarkan dagangan di Pulau Banjar.
Tiga buah kapal berangkat meninggalkan pelabuhan Gresik dengan
penuh muatan. Biasanya,
sesudah dagangan itu terjual habis di pulau Banjar maka Abu
Hurairah diperintah membawa
barang dagangan dari Pulau Banjar yang sekiranya laku di Pulau
Jawa, seperti rotan, damar,
emas dan lain-lain. Dengan demikian keuntungan yang diperoleh
menjadi berlipat ganda. Tapi
kali ini tidak, sesudah kapal merapat di pelabuhan Banjar, Raden
Paku membagi-bagikan
barang dagangan dari Gresik itu secara gratis kepada penduduk
setempat.
Tentu saja hal ini membuat Abu Hurairah menjadi cemas. Dia segera
memprotes tindakan
Raden Paku, “Raden …… kita pasti akan mendapat murka Nyai Ageng
Pinatih. Mengapa barang
dagangan kita diberikan secara Cuma-Cuma ?”
“Jangan kuatir Paman, “Kata Raden Paku. “Tindakan saya ini sudah
tepat.
Penduduk Banjar pada saat ini sedang dilanda musibah. Mereka
dilanda kekeringan dan kurang
pangan. Sedangkan ibu sudah terlalu banyak mengambil keuntungan
dari mereka. Sudahkah ibu
memberikan hartanya dengan membayar zakat kepada mereka ?. Saya
kira belum, nah
sekaranglah saatnya ibu mengeluarkan zakat untuk membersihkan
diri.”
“Itu diluar wewenang saya Raden ,” Kata Abu Hurairah. “Jika kita
tidak memperoleh uang lalu
dengan apa kita mengisi perahu supaya tidak oleng dihantam ombak
dan badai ?”
Raden Paku terdiam beberapa saat. Dia sudah maklum bila dagangan
habis biasanya Abu
Hurairah akan mengisi kapal atau perahu dengan barang dagangan
dari Kalimantan. Tapi
sekarang tak ada uang dengan apa dagangan Pulau Banjar akan
dibeli. “Paman tak usah risau,”
kata Raden Paku dengan tenangnya “Supaya kapal tidak oleng isilah
karung-karung kita dengan
batu dan pasir.”
Walaupun agak konyol tapi benar juga akal itu, demikian pikir Abu
Hurairah. Kapal itupun diisi
dengan karung-karung yang berisi pasir dan batu. Sekedar menjaga
keseimbangan agar kapal
itu tidak karam dihantam badai.
Memang benar, mereka dapat berlayar hingga di pantai Gresik dalam
keadaan selamat. Tapi
hati Abu Hurairah menjadi kebat kebit sewaktu berjalan
meninggalkan kapal untuk menghadap
Nyai Ageng Pinatih. Dugaan Abu Hurairah memang tepat.
Nyai Ageng Pinatih terbakar amarahnya demi mendengar perbuatan
Raden Paku yang dianggap
tidak normal itu.
“Ibu jangan terburu marah-marah,” kata Raden Paku. “Lebih baik ibu
lihat dulu apakah isi
karung-karung dalam kapal itu ?”
“Apakah yang dilihat lagi, Abu Hurairah tak pernah berbohong
kepadaku. Pasir dan batu apa
susahnya mencari di Gresik ini. Aku tidak keberatan barang
dagangan itu kau sedekahkan
kepada penduduk Banjar yang menderita tapi pasir dan batu itu buat
apa ?”
“Sebaiknya ibu lihat lebih dahulu !” pinta Raden Paku.
“Sudah, jangan banyak bicara, buang saja pasir dan batu itu. Hanya
mengotori karung-karung
kita saja !” Hardik Nyai Ageng pinatih.
Tapi ketika awak kapal membuka karung-karung itu, mereka terkejut.
Karung-karung itu isinya
berubah menjadi barang-barang dagangan yang biasa mereka bawa dari
Banjar, seperti rotan,
damar, kain dan emas serta intan. Bila ditaksir harganya jauh
lebih besar ketimbang barang
dagangan yang disedekahkan kepada penduduk Banjar. Sejak saat itu
Nyai Ageng Pinatih tidak
berani menganggap sembarangan pada anak angkatnya. Dia yakin kelak
Raden Paku akan
menjadi orang besar, seorang yang mempunyai kelebihan dibanding
pemuda-pemuda biasa
lainnya.
5. Perkawinan Raden Paku
Al-kisah, ada seorang bangsawan Majapahit bernama Ki Ageng Supa
Bungkul. Ia mempunyai
Sebuah pohon delima yang aneh di depan pekarangan rumahnya. Setiap
kali ada orang hendak
mengambil buah delima yang berbuah satu itu pasti mengalami nasib
celaka, kalau tidak
ditimpa penyakit berat tentulah orang tersebut meninggal dunia.
Suatu ketika Raden Paku tanpa disengaja lewat di depan pekarangan
Ki Ageng Bungkul. Begitu
dia berjalan di bawah pohon delima tiba-tiba buah pohon itu jatuh
mengenai kepala Raden
Paku.
Ki Ageng Bungkul tiba-tiba muncul mencegat Raden Pakuh, dan ia
berkata, “kau harus kawin
dengan putriku, Dewi Wardah.”
Memang, Ki Ageng Bungkul telah mengadakan sayembara, siapa saja
yang dapat memetik buah
delima itu dengan selamat maka ia akan dijodohkan dengan putrinya
yang bernama Dewi
Wardah. Raden Paku bingung menghadapi hal itu. Maka peristiwa itu
disampaikan kepada Sunan
Ampel.
“Tak usah bingung. Ki Ageng Bungkul itu seorang muslim yang baik,
aku yakin Dewi Wardah
juga seorang muslimah yang baik. Karena hal itu sudah menjadi niat
Ki Ageng Bungkul kuharap
kau tidak mengecewakan niat baiknya itu.” Demikian kata Sunan
Ampel.
“Tapi .......... bukankah saya hendak menikah dengan putri Kan
jeng Sunan yaitu dengan Dewi
Murtasiah ?” Ujar Raden Paku.
“Tidak mengapa?” Kata Sunan Ampel. “Sesudah melangsungkan akad
nikah dengan Dewi
Murtasiah selanjutnya kau akan melangsungkan perkawinan dengan
Dewi Wardah.”
Itulah liku-liku perjalanan hidup Raden Paku. Dalam sehari ia
menikah dua kali. Menjadi
menantu Sunan Ampel, kemudian menjadi menantu Ki Ageng Bungkul
seorang Bangsawan
Majapahit yang hingga sekarang makamnya terawat baik di Surabaya.
Sesudah berumah tangga,
Raden Paku makin giat berdagang dan berlayar antar pulau. Sambil
berlayar itu pula beliau
menyiarkan agama Islam pada penduduk setempat sehingga namanya
cukup terkenal di
kepulauan Nusantara.
Lama-lama kegiatan dagang tersebut tidak memuaskan hatinya. Ia
ingin berkonsentrasi
menyiarkan agama Islam dengan mendirikan pondok Pesantren. Iapun
minta izin kepada ibunya
untuk meninggalkan dunia perdagangan.
Nyai Ageng Pinatih yang kaya raya itu tidak keberatan. Andaikata
hartanya yang banyak itu
dimakan setiap hari dengan anak dan menantunya rasanya tiada akan
habis, terlebih Juragan
Abu Hurairah orang kepercayaan Nyai Ageng Pinatih menyatakan
kesanggupannya untuk
mengurus seluruh kegiatan perdagangan miliknya, maka wanta itu
ikhlas melepaskan Raden
Paku yang hendak mendirikan pesantren.
Mulailah Raden Paku bertafakkur di goa yang sunyi, 40 hari 40
malam beliau tidak keluar goa,
hanya bermunajat kepada Allah. Tempat Raden Paku bertafakkur itu
hingga sekarang masih
ada, yaitu desa Kembangan dan Kebomas. Usai bertafakkur
teringatlah Raden Paku pada pesan
ayahnya sewaktu belajar di Negeri Pasai. Diapun berjalan
berkeliling untuk mencari daerah
yang tanahnya mirip dengan tanah yang di bawa dari Negeri Pasai.
Melalui desa Margonoto, sampailah Raden Paku di daerah perbukitan
yang hawanya sejuk,
hatinya terasa damai, iapun mencocokan tanah yang dibawanya dengan
tanah di tempat itu.
Ternyata cocok sekali. Maka di desa Sidomukti itulah ia kemudian
mendirikan pesantren.
Karena tempat itu adalah dataran tinggi atau gunung maka
dinamakanlah pesantren Giri. Giri
dalam bahasa Sangsekerta artinya gunung. Atas dukungan istri-istri
dan ibunya juga dukungan
spiritual dari Sunan Ampel. Tidak begitu lama, hanya dalam waktu
tiga tahun Pesantren Giri
sudah terkenal ke seluruh Nusantara.
6. Peranan Sunan Giri Dalam Perjuangan Wali Sanga
Dimuka telah disebutkan bahwa hanya dalam tempo waktu tiga tahun
Sunan Giri berhasil
mengelola Pesantrennya hingga namanya terkenal ke seluruh
Nusantara. Menurut Dr. H.J. De
Graaf, sesudah pulang dari pengembaraannya atau berguru ke Negeri
Pasai, ia memperkenalkan
diri kepada dunia, kemudian berkedudukan di atas bukit di Gresik,
dan ia menjadi orang
pertama yang paling terkenal dari Sunan-sunan Giri yang ada. Di
atas gunung tersebut
seharusnya ada istana karena dikalangan rakyat dibicarakan adanya
Giri Kedaton ( Kerajaan
Giri ) . Murid-murid Sunan Giri berdatangan dari segala penjuru,
seperti Maluku, Madura,
Lombok, Makasar, Hitu dan Ternate. Demikian menurut De Graaf.
Menurut Babat Tanah Jawa murid-murid Sunan Giri itu justru
bertebaran hampir di seluruh
penjuru benua besar, seperti Eropa ( Rum ), Arab, Mesir, Cina dan
lain-lain.
Semua itu adalah pengembara kebesaran nama Sunan Giri sebagai
ulama besar yang sangat
dihormati orang pada jamannya. Disamping pesantrennya yang besar
ia juga membangun
masjid sebagai pusat ibadah dan pembentukan iman ummatnya. Untuk
para santri yang datang
dari jauh beliau juga membangun asrama yang luas.
Disekitar bukit tersebut sebenarnya dahulu jarang dihuni oleh
penduduk dikarenakan sulitnya
mendapatkan air. Tetapi dengan adanya Sunan Giri masalah air itu
dapat diatasi. Cara Sunan
Giri membuat sumur atau sumber air itu sangat aneh dan gaib, hanya
beliau seorang yang
mampu melakukannya.
7. Sebagai Pemimpin Kaum Putihan
Dalam menentukan hokum agama yang pada saat itu memang sedang
menghadapi ujian adanya
masalah-masalah ummat yang pelik, Sunan Giri sangat berhati-hati,
beliau kuatir terjerumus
pada jurang kemusyrikan. Itu sebabnya beliau sangat berpegang
teguh kepada Al-Qur’an dan
Hadits Nabi yang sahih.
Ibadah menurut beliau haruslah sesuai dengan ajaran Nabi, tidak
boleh dicampuri dengan
berbagai kepercayaan lama yang justru bertentangan dengan agama
Islam. Karena mahirnya
beliau di bidang ilmu fiqih maka beliau mendapat sebutan Sultan
Abdul Fakih. Di bidang tauhid
beliau juga tak kenal kompromi dengan adat istiadat lama dan
kepercayaan lama. Kepercayaan
Hindu-Budha atau animesme dan dinamisme harus dikikis habis. Adat
istiadat lama yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam harus dilenyapkan supaya tidak
menyesatkan ummat dibelakang
hari.
Pelaksanaan syariat Islam di bidang agama ibadah haruslah sesuai
dengan ajaran aslinya yang
termasuk di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Karena sikapnya ini
maka Sunan Giri dan
pengikutnya disebut kaum Putihan atau Islam Putih. Islam Putihan
ini artinya adalah dalam
beragama mengikuti jalan lurus, putih bersih seperti ajaran
aslinya. Pemimpin kaum putihan
adalah Sunan Giri yang didukung oleh Sunan Ampel dan Sunan Drajad.
Kalau ada Islam Putihan tentunya ada Islam Abangan, anak Islam
Abangan ini adalah para
pengikut Sunan Kalijaga yang didukung oleh Sunan Bonang, Sunan
Kudus, Sunan Gunung Jati
dan Sunan Muria.
Tujuan Aliran Islam Abangan ini adalah agar Islam cepat tersiar
keseluruh penduduk Tanah
Jawa. Agar semua rakyat dapat menerima agama Islam, karena itu
mereka berpendapat :
1.
Membiarkan dahulu adat istiadat yang sukar diubah, atau tidak
merubah adat yang berat
ditiadakan, sehingga tidak terjadi usaha kekerasan dalam
menyebarkan Islam.
2.
Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah
dihilangkan maka
ditiadakan.
3.
Mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi
diusahakan untuk
mempengaruhi sedikit demi sedikit agar mereka menerima Islam yang
benar.
4.
Menghindarkan terjadinya konfrontasi secara langsung atau
terjadinya kekerasan dalam
menyiarkan agama Islam. Maksudnya ialah mengambil ikannya tanpa
mengeruhkan airnya
5.
Tujuan utama kaum Abangan adalah merebut simpati rakyat sehingga
rakyat mau diajak
berkumpul, mendekat dan bersedia mendengarkan keterangan apa sih
ajaran agama Islam
itu ? Jadi tidak dibenarkan menghalau rakyat dari kalangan ummat
Islam, melainkan
berusaha menyenangkan hati mereka supaya mau mendekat kepada para
ulama atau para
Wali. Untuk itu tidak ada salahnya penggunaan kesenian rakyat
seperti gending dan wayang
kulit sebagai media dakwah untuk mengumpulkan mereka.
Itulah pendapat kaum Abangan yang dipimpin oleh Sunan Kalijaga.
Perlu diketahui walaupun
ada perbedaan dalam cara menyiarkan Islam, tapi pada waktu itu
tidak sampai terjadi
ketegangan kedua pihak masih sama-sama berfaham Ahlussunah
waljamaah dan bermahZab
Syafi’i. Kedua pihak sama-sama menyadari pentingnya pos mereka.
Pihak Putihan menjaga
kemurnian agama Islam agar tidak bercampur dengan faham yang
berbau syirik. Sedangkan
pihak Abangan adalah mengajak masyarakat atau rakyat secepatnya
menjadi pemeluk agama
Islam. Bila sudah menjadi pemeluk Islam tinggal menyempurnakan
iman mereka saja.
8. Peresmian Masjid Demak
Dalam peresmian Masjid Demak, Sunan Kalijaga mengusulkan agar
dibuka dengan pertunjukan
wayang kulit yang pada waktu itu bentuknya masih wayang beber
yaitu gambar manusia yang
dibeber pada sebuah kulit binatang. Usul Sunan Kalijaga ditolak
oleh Sunan Giri, karena wayang
yang bergambar manusia itu haram hukumnya dalam ajaran Islam,
demikian menurut Sunan
Giri.
Jika Sunan Kalijaga mengusulkan peresmian Masjid Demak itu dengan
membuka pegelaran
wayang kulit, kemudian diadakan dakwah dan rakyat berkumpul boleh
masuk setelah
mengucapkan syahadat, maka Sunan Giri mengusulkan agar Masjid
Demak diresmikan pada saat
64
hari jum’at sembari melaksanakan shalat jamaah Jum’at. Sunan
Kalijaga yang berjiwa besar
kemudian mengadakan kompromi dengan Sunan Giri. Sebelumnya Sunan
Kalijaga telah merubah
bentuk wayang kulit sehingga gambarannya tidak bisa disebut
sebagai gambar manusia lagi.
Lebih mirip karikatur seperti bentuk wayang yang ada sekarang ini.
Sunan Kalijaga membawa wayang kreasinya itu dihadapan sidang para
Wali.
Karena tak bisa disebut sebagai gambar manusia maka akhirnya Sunan
Giri menyetujui wayang
kulit itu digunakan sebagai media dakwah. Perubahan bentuk wayang
kulit itu adalah
dikarenakan sanggahan Sunan Giri, karena itu, Sunan Kalijaga
memberi tanda khusus pada
momentum penting itu. Pemimpin para dewa dalam pewayangan oleh
Sunan Kalijaga
dinamakan Sang Hyang Girinata, yang arti sebenarnya adalah Sunan
Giri yang menata.
Maka perdebatan tentang peresmian Masjid Demak bisa diatasi.
Peresmian itu akan diawali dengan shalat Jum’at, kemudian
diteruskan dengan pertunjukan
wayang kulit yang dinamakan oleh Ki Dalang Sunan Kalijaga. Peranan
Sunan Giri dalam
perjuangan Wali Songo sebenarnya masih banyak, diantaranya akan
kami turunkan dalam bab
lain di buku ini.
9. Prabu Satmata Dan Giri Kedaton
Semakin hari pengaruh Sunan Giri semakin besar. Kekuatan
spiritualnya juga semakin luas.
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pesantren Giri kemudian berubah
menjadi kerajaan Giri yang
sering disebut Giri Kedaton. Dan Sunan Giri sebagai raja pertama
bergelar Prabu Satmata.
Ketika Sunan Ampel wafat pada tahun 1478, maka Sunan Girilah yang
diangkat sebagai sesepuh
Wali Songo atau Mufti ( pemimpin agama se Tanah Jawa ). Sunan
Ampel adalah Penasehat
bagian politik Demak. Jasa beliau sungguh besar bagi perjuangan
Wali Songo, yaitu
menyebarkan agama Islam tanpa kekerasan. Beliaulah yang paling
tidak setuju atas beberapa
usul agar Raden Patah segera menyerang Majapahit agar Demak dapat
berdiri sebagai kerajaan
Islam merdeka tanpa harus tunduk kepada Majapahit. Sunan Ampel dan
Sunan Giri yang masih
terhitung keluarga kerajaan Majapahit memang dianggap Prabu
Brawijaya sebagai pembesar
atau para Pangeran Majapahit yang berkuasa didaerah masing-masing.
Sunan Ampel berkuasa di
Surabaya dan Sunan Giri berkuasa di Giri Gresik. Dengan demikian
Sunan Ampel adalah orang
yang paling tahu situasi kerajaan Majapahit. Ketika beberapa wali
mengusulkan untuk
menyerbu Majapait, Sunan Ampel menyatakan ketidak setujuannya.
“Tanpa diserbupun Kerajaan Majapahit sudah keropos dari dalam.
Lagi pula Prabu Brawijaya
Kertabumi itu masih ayah kandung Raden Patah selaku Pangeran Demak
Bintoro,” Kata Sunan
Ampel. “Apa kata orang nanti bila seorang anak durhaka menyerang
dan merebut tahta
ayahnya sendiri ? Saya kira Kerajaan Majapahit akan sirna dengan
sendirinya, beberapa adipati
yang masih beragama Hindu sudah banyak yang ingin merebut
kekuasaan. Kita tak usah ikutikutan
merebut tahta Majapahit yang hanya mencemarkan keagungan agama
yang kita anut.”
Ramalan Sunan Ampel memang benar. Tidak lama setelah beliau
meninggal dunia. Adipati
Keling atau Kediri bernama Girindrawardhana menyerbu kerajaan
Majapahit. Ada yang
menyebutkan bahwa Prabu Kertabumi atau Ayah Raden Patah itu tewas
dalam serangan
mendadak yang dilakukan Prabu Girindrawardhana dari Kediri.
Setelah Sunan Ampel wafat,
penasehat bagian politik Demak digantikan oleh Sunan Kalijaga.
Sedang Sunan Giri dianggap
sesepuh yang sering dimintai pertimbangan di bidang politik
kenegaraan.
Para Wali mengadakan sidang sesudah jatuhnya Majapahit oleh
serangan menyerang Prabu
Girindrawardhana yang berkuasa di Majapahit. Sebab Raden Patah
adalah pewaris utama
kerajaan Majapahit. Dengan demikian ketika Demak menyerbu
Majapahit bukanlah menyerang
Prabu Kertabumi yang menjadi ayah Raden Patah, melainkan justru
merebut tahta Majapahit
dari tangan musuh Prabu Kertabumi. Pada waktu Prabu
Girindrawardhana ini berkuasa di
Majapahit pernah berusaha menggempur Giri Kedaton, karena Sunan
Giri dianggap salah satu
kerabat Prabu Kertabumi. Tetapi serangan itu dapat dipatahkan oleh
Sunan Giri.
Kebesaran nama Sunan Giri yang bergelar Prabu Satmata itu juga
terdengar oleh seorang
Begawan dari Lereng Lawu. Namanya Begawan Mintasemeru. Brahmana
ini sengaja datang ke
Giri Kedaton untuk menentang Sunan Giri adu kesaktian. Diantara
adu kesaktian beragam
jenisnya itu, yang paling terkenal adalah adu tebakan. Begawan
Mintasemeru menciptakan
sepasang angsa jantan dan betina, kemudian dikubur hidup-hidup
diatas gunung Patukangan.
Sesudah itu dia kembali menemui Sunan Giri.
“Apakah yang baru saya tanam di puncak gunung Patukangan itu,
demikian tanya Begawan
Mintasemeru menguji Sunan Giri.
“Yang Tuan tanam adalah sepasang naga jantan dan betina!” jawab
Sunan Giri dengan
tenangnya.
Begawan itu tertawa terbahak-bahak sembari memperolok-olok
kebodohan Sunan Giri.
“Jika Tuan Begawan tidak percaya boleh anda lihat lagi, hewan
apakah yang Tuan tanam di
puncak gunung itu,” kata Sunan Giri.
Sang Begawan menurut. Dia bongkar kuburan sepasang angsa
ciptaannya. Ternyata angsa itu
lenyap sebagai gantinya adalah sepasang naga yang meliuk-liuk
hendak menerkamnya. Tentu
saja sang Begawan merasa teramat malu. Selanjutnya dikatakan bahwa
Begawan Mintasemeru
masih mendemonstrasikan beberapa kesaktiannya yang menakjubkan,
tapi semuanya dapat
dikalahkan oleh Sunan Giri. Pada akhirnya Begawan Mintasemeru
menyerah kalah, tunduk dan
masuk Islam, kemudian menyebarkan agama Islam di Gunung Lawu.
Legenda tentang adu tebak
kewaskitaan itu diabadikan dalam monumen patung sepasang naga di
tangga masuk ke makam
Sunan Giri yaitu tangga yang sebelah selatan. Disana ada sepasang
naga dari ukiran batu yang
mirip dengan angsa.
10. Jasa-Jasa Sunan Giri
Jasanya yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam menyebarkan
agama Islam di Tanah
Jawa bahkan ke Nusantara, baik dilakukannya sendiri sewaktu masih
muda sambil berdagang
ataupun dilakukannya sendiri sewaktu masih muda sambil berdagang
ataupun melalui muridmuridnya
yang ditugaskan keluar pulau.
Beliau pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan Syekh Siti
Jenar, seorang Wali yang
dianggap murtad karena menyebarkan faham Pantheisme dan meremehkan
syariat Islam yang
disebarkan para Wali lainnya. Dengan demikian Sunan Giri ikut
menghambat tersebarnya aliran
yang bertentangan dengan faham Ahlussunnah wal jama’ah.
Keteguhannya dalam menyiarkan
agama Islam secara murni dan konsekwen berdampak positif bagi
generasi Islam berikutnya.
Islam yang disiarkannya adalah Islam sesuai ajaran Nabi, tanpa di
campuri kepercayaan atau
adapt istiadat lama. Di bidang kesenian beliau juga berjasa besar,
karena beliaulah yang
pertama kali menciptakan tembang dan tembang dolanan anak-anak
yang bernafas Islam antara
lain : Jamuran, Cublak-ublak Suweng, Jithungan dan Delikan.
Diantara permainan anak-anak
yang dicintanya ialah sebagai berikut :
Diantara anak-anak yang bermain ada yang menjadi pemburu, dan yang
lainnya menjadi obyek
buruan. Mereka akan selamat dari kejaran pemburu bila telah
berpegang pada tonggak atau
batang pohon yang telah ditentukan lebih dulu. Inilah permainan
yang disebut Jelungan. Arti
permainan tersebut adalah seseorang yang sudah berpegang teguh
kepada agama Islam Tauhid
maka ia akan selamat dari ajakan setan atau iblis yang
dilambangkan sebagai pemburu.
Sembari melakukan permainan yang disebut jelungan itu biasanya
anak-anak akan menyanyikan
lagu Padhang Bulan :
“Padhang-padhang bulan, ayo gage dha dolanan,
dolanane na ing latar,
ngalap padhang gilar-gilar,
nundhung begog hangetikar.”
Artinya adalah sebagai berikut :
“Malam terang bulan, marilah lekas bermain,
bermain di halaman, mengambil di halaman,
mengambil manfaat benderangnya rembulan,
mengusir gelap yang lari terbirit-birit.”
Maksud lagu dolanan tersebut ialah : Agama Islam telah datang,
maka marilah kita segera
menuntut penghidupan, di muka bumi ini, untuk mengambil manfaat
dari agama Islam, agar
hilang lenyaplah kebodohan dan kesesatan.
Sunan Giri jauh-jauh sudah memperingatkan umat agar berhati-hati
terhadap perubahan
jaman. Beliau pernah meramalkan bahwa pada masa yang akan datang
akan banyak orang yang
mengaku mendapat wahyu Tuhan tetapi sebetulnya mereka sangat jauh
dari agama. Bahkan
sama sekali tak mengerti ilmu agama. Mereka dipuja-puja
ummat padahal menjadi benalu atau pemeras ummat. Mereka tidak lagi
menghiraukan syariat
agama, bahkan menginjak-nginjak syariat tersebut dengan
mendakwakan dirinya sudah tidak
perlu melakukan shalat, tidak perlu berpuasa dan berzakat karena
dirinya sudah baik, sudah
sempurna. Itulah orang yang tergelincir ilmunya. Mereka sesat dan
menyesatkan ummat
pengikutnya.
Dimasa yang akan datang juga akan muncul guru-guru ilmu yang
merasa ilmunya sudah tinggi,
sudah sempurna, mereka mengaku mendapat wangsit dari Tuhan dan
karenanya bebas berbuat
apa saja. Guru semacam ini justru dipuja-puja para pengikutnya
sampai-sampai masyarakat
rela mengorbankan harta, harga diri dan jiwanya demi kesenangan
sang guru. Dalam
kenyataannya ramalan Sunan Giri itu memang sudah sering terbukti.
Sudah berapa kalikah
masyarakat dibodohi guru-guru semacam itu, mulai dari dukun cabul
hingga orang-orang yang
mengaku dirinya Wali ternyata adalah bajingan.
11. Para Pengganti Sunan Giri
Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1442, memerintahkan
kerajaan Giri selama kurang
lebih dua puluh tahun. Mulai tahun 1487 hingga tahun 1506. Sewaktu
memerintah Giri Kedaton
beliau bergelar Prabu Satmata. Pengaruh Sunan Giri sangat besar
terhadap kerajaan-kerajaan
Islam di Jawa maupun di luar Jawa. Sebagai bukti adalah adanya
kebiasaan bahwa apabila
seorang hendak dinobatkan menjadi raja haruslah memerlukan
pengesahan dari Sunan Giri.
Giri Kedaton atau Kerajaan Giri berlangsung selama hampir 200
tahun. Sesudah Sunan Giri yang
pertama meninggal dunia beliau digantikan anak keturunannya yaitu
:
1. Sunan Dalem
2. Sunan Sedomargi
3. Sunan Giri Prapen
4. Sunan Kawis Guwa
5. Panembahan Ageng Giri
6. Panembahan Mas Witana Sideng Rana
7. Pangeran Singonegoro ( bukan keturunan Sunan Giri )
8. Pangeran Singosari
Pangeran Singosari ini berjuang gigih mempertahankan diri dari
sebuah Sunan Amangkurat II
yang dibantu oleh VOC dan Kapten Jonker. Serbuan ke Giri itu
adalah dalam rangka
penumpasan pemberontakan yang dilakukan oleh Trunojoyo seorang
murid dari Pesantren Giri
yang pernah menyungkir balikkan Surakarta dan bahkan pernah
menjadi Raja di Kediri.
Pemberontakan Trunojoyo itu dilakukan karena tindakan
sewenang-wenang dari Sunan
Amangkurat I yang pernah menumpas dan membunuh 6000 ulama’
Ahlusunnah yang dituduh
menyebarkan isu ketidakpuasan rakyat terhadap raja. Padahal itu
hanya fitnah dari orangorang
yang menjadi kaki tangan Sunan Amangkurat I, mereka adalah para
pengikut faham
Manunggaling Kawula Gusti, faham yang diajarkan oleh Syekh Siti
Jenar yang ditentang Wali
Sanga. Sesudah Pangeran Singosari wafat pada tahun 1679, habislah
kekuasaan Giri Kedaton.
Yang tinggal hanyalah makam-makam dan peninggalan Sunan Giri.
Yang dirawat oleh juru kunci makam Sunan Giri.
Komentar